Senin, 29 Oktober 2007

manager handal

Semua orang tahu nasib guru. Orang yang telah berjasa mencetak menteri, presiden, milyarder dan jutaan orang pintar ini, nasibnya tidak sebagus namanya. Penghasilan pas-pasan, banyak utang, hidup sederhana dan segudang predikat hidup miris lainnya, sering dialamatkan kepada guru.

Saya ingat saat masih kecil dulu. Saat itu ibuku menjadi kepala sekolah SD. Semua guru di sekolahnya selalu mengambil uang gaji di rumahku saat tanggal muda. Saat itu, ibuku sering dengan sengaja menunjukkan daftar gaji guru sekolahnya kepadaku. Ada beberapa guru yang saat gajian justru harus membayar sejumlah uang, karena punya utang di sekolah. Saat itu saya jadi bertanya-tanya, bagaimana mereka menghidupi keluarganya kalau saat gajian tiba mereka harus membayar utang?

Dua orang finalis eagle awardsdi Metro TV, dengan jeli membidik profil kehidupan seorang guru di Jakarta. Mengambil judul Kepala Sekolahku Seorang Pemulung, menjadi film dokumenter yang cukup favorit di mata pemirsa. Banyak orang kaget atau prihatin melihat nasib guru di film itu, tapi itulah kenyataan yang dihadapi seorang guru. Kepala sekolah yang jadi pemeran utama itu bahkan dengan lugas mengatakan, penghasilannya dari memulung plastik di gunungan sampah di Jakarta jauh lebih besar dari gajinya mengajar.

Tapi, Tuhan memang selalu bertindak adil. Meski rejeki materinya seret, namun guru selalu diberi rejeki dalam bentuk lain. Anaknya pintar-pintar, kehidupannya lurus-lurus saja, tidak banyak masalah, keturunannya juga tidak banyak masalah. Bahkan, sebagian besar mahasiswa di universitas negeri terbesar di negara ini adalah anak-anak guru.

Beruntunglah, Indonesia pernah punya seorang presiden bernama Gus Dur. Begitu dia jadi presiden, gaji guru langsung dinaikkan 100 persen. Saat itu banyak pemimpin daerah menjerit karena tidak punya anggaran untuk membayar kenaikan itu. Wajar kalau bupati menjerit karena tidak punya uang untuk membayar gaji guru itu. Tapi begitulah, sudah seharusnya bupati bekerja keras dan lebih memperhatikan nasib guru.

Kini, di pemerintahan SBY, nasib guru lagi-lagi cukup diperhatikan. Mulai dari gaji ke-13, tunjangan fungsional, tunjangan sertifikasi guru dan beberapa tambahan penghasilan lainnya. Dengan adanya tambahan tunjangan itu, kini nasib pahlawan tanpa tanda jasa ini terbilang cukup layak. Tinggal bagaimana guru menyampaikan terima kasihnya atas perhatian ini. Meningkatkan kualitas mengajar dan mendidik, saya kira adalah jawaban yang cukup memadai. Meskipun, penghargaan itu, saya rasa tidak akan pernah cukup untuk menghargai jasa seorang guru.

Bila harus mengungkap kehidupan guru. Sudah cukup panjang saya merasakannya. Sebagai pensiunan guru SD, dua orang tuaku sudah cukup membentuk kepribadianku hingga saat ini. Saya ingat saat kecil, bagaimana kami sekeluarga harus makan nasi kecap dengan lauk satu butir telur rebus dibagi untuk empat orang anak. Atau satu butir telur dadar dicampur dengan kobis dan tepung hingga mengembang.

Tapi, justru dari situlah saya banyak belajar manajemen keuangan dari ibuku. Meski hidup kami pas-pasan, tapi alhamdulillah, kami empat bersaudara anak-anak bapak-ibuku jadi sarjana semua. Kuliah kamipun bukan sekedar mampir kuliah, kakak tertua lulusan Undip Semarang, kakak nomor dua lulusan IKIP Negeri Semarang, aku dan adikku lulusan UGM Jogjakarta.

Entah belajar dari mana ibuku bisa sangat cerdas memenej keuangan keluarga kami. Yang jelas, saat itu Rhenald Kasali belum mengarang Change, Robert Kiyosaki belum menemukan Cashflow Quadrant, atau saya yakin ibuku belum pernah membaca biografi orang-orang top dunia. Tapi saya yakin ibuku punya guru yang sangat hebat, guru kehidupan. Beliau belajar langsung dari guru kehidupan itu.

Bukan untuk bersombong diri, dua orang tuaku sudah dua kali naik haji. Mereka juga bisa membangun rumah dan mempunyai beberapa bidang tanah. Kalau ada yang menuduh orang tuaku korupsi, semua pasti tertawa. Karena, sampai kapanpun seorang guru, apalagi tinggalnya di desa terpencil seperti kami bisa korupsi. Apa yang mau dikorupsi oleh seorang guru di desa terpencil?

Dalam sebuah perenungan malam, saya pernah merasa sangat malu. Orang tuaku yang hanya lulusan SPG saja bisa memanaj uang dan menjadikan kami semua sarjana. Lalu, kami yang sarjana ini bisa berbuat apa? Jangankan membantu orang tua kami, untuk menghidupi keluarga kami saja, rasanya masih jauh bila dibandingkan dengan apa yang telah dilakukan orang tua kami. Satu-satunya yang baru bisa kami lakukan saat ini adalah mendoakan mereka agar selalu hidup bahagia, dunia akhirat. Amin..

Banjarbaru, Kalsel
Senin, 29 Oktober 2007