Rabu, 24 Oktober 2007

marah

Ini adalah zaman frustasi. Banyak orang marah karena kecewa, karena diperlakukan tidak adil, karena tidak bisa mencapai keinginannya, atau bahkan marah tanpa sebab. Banyak pula orang yang dimarahi tanpa sebab, atau hanya karena masalah sepele. Lalu, kenapa orang menjadi mudah marah?

Aa Gym pernah bilang, orang pemarah itu tanda tidak punya ilmu. Karena tak punya ilmu, maka tak bisa menyelesaikan masalahnya dengan baik. Akibatnya, orang menjadi mudah patah arang, orang menjadi mudah kecewa dan pelampiasannya adalah marah. Kata Gym, dengan ilmu, orang bisa menyelesaikan masalah apa saja. Dengan ilmu, orang bisa melepaskan uneg-uneg atau stressnya secara lebih baik. Sehingga, tak perlu dongkol, tak perlu marah.

Dengan marah, orang menganggap masalah bisa selesai. Setidaknya, bisa melampiaskan kekecewaan, bisa melampiaskan ketidakpuasan, dan mengurangi beban stress. Tapi tunggu dulu, itu kan perbuatan orang picik! Tidak bisa mengendalikan diri dengan baik, tapi menyalahkan orang lain.

Sekarang, banyak orang bilang ini zaman edan. Banyak orang mengutip kata-kata pujangga Ki Ronggo Warsito. Kata orang, kalau tidak ikut edan, tidak kebagian. Tapi lucunya, banyak orang tidak memahami pesan Ki Warsito ini secara lengkap. Bahkan mengorupsi sebagian pemikiran Ki Warsito itu. Mestinya, pesan Warsito itu tidak hanya berhenti pada "yang tidak ikut edan tidak kebagian," tapi, "Wong kang selamet iku, wong sing eling lan waspodo."

Ya itulah. Sekarang banyak orang dengan mudah saling tuduh, padahal sama-sama saling melakukan keburukan. Itu namanya maling teriak maling. Di kantor saya, termasuk saya, sering sekali dengan mudah menuduh orang lain melakukan kesalahan. Kami sering ngerumpi bahwa Si A, Si B, Si C, pejabat A, pejabat B, pimpinan ini, koordinator itu, sering bertindak tidak adil. Padahal, kami sendiri, terkadang lebih buruk dari orang yang kita tuduh itu.

Di kantor, kami sering melakukan korupsi. Korupsi jam kerja, korupsi uang hadir, korupsi tanda tangan, dan korupsi lain-lainnya. Lalu apa bedanya dengan para pejabat yang sering melakukan korupsi, seperti yang sering kami rumpikan? Kami sering berdalih bahwa korupsi yang kita lakukan tidak merugikan rakyat! Nah loh... Sama-sama klepto, tapi selalu berdalih.

Saat mencermati masalah ini, kebanyakan orang bilang, sudah saatnya mendapat bimbingan agama. Tapi kita sering lupa satu pertanyaan, sudahkah kita mengamalkan ajaran agama kita secara benar? Jangan-jangan kita hanya menjalankan ritualnya saja, tanpa pernah memahami ajaran agama yang benar. "Paham!" kata ustadnya Si Entong.

Banyak orang sering lupa, saat terlahir, kita langsung punya satu agama yaitu agama orangtua kita. Dalam hal ini, posisi kita dalam kondisi terpaksa. Kita tidak pernah memilih suatu agama atau keyakinan kita secara sadar dan sungguh-sungguh. Celakanya, hal ini kita jalani saja hingga dewasa, tua dan bahkan sampai mati. Kita tak pernah menyadari spiritualitas kita secara sungguh-sungguh dan penuh kesadaran. Kita tidak pernah mempertanyakan kenapa kita harus menganut agama ini atau agama itu.

Celakanya lagi, pada saat kita punya kesadaran untuk memilih keyakinan kita, kita tidak pernah menggunakan kesempatan itu. Kita selalu terjebak pada budaya, pada kebiasaan keluarga dan sekeliling kita, sehingga tidak pernah mau bersikap kritis. Pernahkah kita punya keberanian untuk mempertanyakan kebenaran agama kita? Hmmm... Kalau ini kita lakukan, pasti kita akan langsung dicap murtad.

Jadi, beruntunglah bila anda terlahir di lingkungan yang terbiasa dengan perbedaan pendapat. Di lingkungan kampus, mempertanyakan kebenaran ajaran agama adalah hal yang sangat wajar. Itu biasa. Perbedaan pendapat dan mempertanyakan kebenaran agama bukan untuk menjadi murtad. Perbedaan pendapat justru untuk memperkaya pemahaman kita, tentang agama, spiritualitas, dan tentang alam semesta.

Dengan berdebat, bukan untuk menjadikan sikap permusuhan, tapi justru untuk memperkuat keyakinan kita. Untuk membentuk sikap toleransi kita, bahwa di luar diri kita ada orang lain. Di luar diri kita ada hal lain yang perlu kita hormati. Di luar diri kita, ada ego-ego lain seperti ego kita, yang tentunya ingin dihormati juga.

Lalu, bagaimana agar ajaran agama bisa berperan mengatasi masalah manusia sepanjang zaman, seperti tujuan agama itu sendiri? Semestinya, agama dan kitabnya harus bisa menjadi penuntun umat manusia sepanjang zaman. Lalu kenapa agama terkesan selalu ketinggalan zaman? Nah, di sinilah peran lembaga pendidikan, termasuk pendidikan agama. Sekolahnya, madrasahnya, pondok pesantrennya, termasuk guru-guru dan tenaga pengajarnya harus bisa menempatkan ajaran agama sesuai dengan perkembangan zaman.

Lalu, bagaimana mungkin agama kita diminati (termasuk oleh pengikutnya sekalipun) kalau pengajarnya hanya bisa mengajarkan surga dan neraka saja? Bagaimana mungkin agama bisa mengatasi masalah narkoba, korupsi, dan pergaulan bebas kalau rahibnya terdiri dari orang-orang yang berpandangan kuno, kolot dan tidak bisa menerima perbedaan pendapat. Apalagi beraliran keras menjurus brutal! Wah...

Bersyukur banyak ustadz muda di negara ini yang sudah mulai menyadari hal ini. Banyak ustadz muncul di kalangan selebritis, banyak ustadz muncul di kalangan pesantren, banyak ustadz muncul di kampus-kampus, banyak ustadz muncul di kompleks pelacuran dan tempat-tempat lain yang masih dihuni manusia. Dengan banyaknya ustadz di setiap strata sosial, maka ajaran agama bisa disampaikan secara lebih pas, lebih fleksibel. Tidak kaku dan tidak kasar, karena bisa memahami psikologi sosial di setiap latar belakang kehidupan masyarakat.

Bapakku pernah bilang, hidup ini cuma sebentar. Tidak bijak kalau kita hanya mengejar kehidupan duniawi saja. Tidak adil kalau kita hanya memberi makan badan fisik kita saja. Sewaktu-waktu, kita harus menabung untuk kehidupan spiritual kita. Kita harus memberi makan badan rohani kita. Terlebih lagi, dengan singkatnya hidup di dunia ini, bukankah seharusnya kita berbuat baik secara lebih banyak. Bukankah ini kesempatan untuk menabung sebanyak-banyaknya untuk kehidupan di kemudian hari...

salam,

Banjarbaru, Kalsel
Rabu, 24/10/2007

Tidak ada komentar: