Minggu, 23 Desember 2007

celometan

Beberapa waktu lalu aku ketemu kawan lama. Tidak ada yang berubah dari penampilan maupun tingkahnya. Tetap keras seperti saat masih kerja di tempat yang sama. Padahal, dia harus resign dari kantor lama karena sikapnya yang keras itu. Dia merasa, pendapatnya harus dipertahankan sampai kapanpun dan apapun yang terjadi dia tidak peduli.

Saat masih satu tempat kerja, kami sering sekali berdiskusi, berdebat hingga berjam-jam tentang apa saja, tentang agama, tentang pekerjaan, tentang olah raga, pemerintahan, korupsi, atau apa saja yang terlintas saat itu. Tapi karena sikapnya yang keras itu pula, dia sering dikeroyok debat orang sekantoran. Ujung-ujungnya, dia harus marah-marah. Sementara, kawan-kawan lain yang tujuan awalnya hanya iseng mengomentari, hanya cengar-cengir saja.

Kawan yang satu ini, suka sekali berdebat tentang agama. Apapun yang dibahas, selalu dikaitkan dengan agama. Padahal kami, kawan sekantoran tahu persis bahwa pengetahuannya tentang agama (maaf) pas-pasan. Atau kalau tidak, dia hanya tahu bagian preambulenya saja. Hal itu terbukti dari cecaran pertanyaan kritis yang pada akhirnya tidak bisa dijawabnya. Akibatnya, dia terjebak pada logika berpikir yang salah.

Sikapnya yang sok agamis itu, terus terang sering membuat kami jengkel, atau terkadang merasa iba juga. Bukan apa-apa, karena dengan sikapnya yang ngeyel tanpa pondasi logika yang jelas, sering membuat dia harus berposisi pada situasi yang sulit.

Begitu juga saat ketemu terakhir kali, beberapa hari lalu. Dia masih juga keras seperti sebelumnya, hampir tak ada perubahan. Menurutnya, lagi-lagi membawa label agama, “Tuhan menciptakan manusia itu berbeda-beda,” katanya. Perbedaan itu tidak untuk diubah, tapi untuk dijalankan. Jadi, dengan argumennya itu dia ingin menyatakan, “biarlah saya keras seperti ini, dan jangan coba-coba mengubah saya, karena saya memang diciptakan untuk jadi keras.”

Tapi lucunya, baru saja dia ngomong seperti itu, dia sudah meminta kawan saya untuk mengikuti kemauannya. Saat itu dia bilang, seorang wartawan harus tegas. Bila ada penyimpangan harus dibabat habis tanpa kompromi. Jadi, dia menyuruh kawan saya untuk bersikap tegas terhadap apa yang dilihat dan dirasakan di lapangan. Kawan saya yang tidak biasa berdebat ini hanya bisa cengar-cengir sambil menahan kejengkelan.

Dengan gayanya itu, kawan saya yang satu ini terus menguliahi kawan saya. Saat itu saya hanya diam saja, tidak mau ikut berpolemik atau turut memperdebatkan sesuatu yang menurut saya tak perlu ditanggapi secara serius. Lagi-lagi, dia menyuruh kawan saya untuk menindaklanjuti temuannya di lapangan. Padahal menurut kami, apa yang ditemukan juga tidak bisa dipertanggungjawabkan. Apa yang ditemukannya itu hanya gosip selentingan saja.

Karena mungkin kawan saya sudah jengkel, dia bilang secara berterus terang bahwa apa yang dikabarkannya itu tidaklah benar. Terlebih lagi, kawan saya bilang, kalau memang tahu informasi seperti itu kenapa tidak ditindaklanjuti sendiri, kan sama-sama wartawan. Mendapat lontaran seperti itu, kawan saya bilang, dia sudah berusaha menulis, tapi atasannya tidak mau merespon. Dalam sedetik berikutnya, sumpah serapah dan kejengkelannya seputar kantor dan pekerjaannya ditumpahkan kepada kami. Sambil mengisap rokok, kami mendengarkan ocehannya hingga tuntas.

Setelah merasa cukup mendengarkan ocehan itu, kawan saya bilang “sama seperti kantor kamu, aku juga pernah nulis tapi tidak direspon.” Mendengar itu, kawan yang satunya tambah panas. Dia terus mengucapkan keluhan dan protesnya, hingga berniat mendirikan media sendiri untuk mengungkapkan uneg-uneg dan keluhannya.

Pada saat itulah, karena kawan saya sudah tidak tahan lagi, dia dengan enteng mengatakan,” sebaiknya memang kamu mendirikan media sendiri. Sehingga kamu bisa menumpahkan uneg-uneg tanpa diedit atau dibuang ke tempat sampah oleh redaktur.”


Banjarmasin
Minggu, 23 Desember 2007

Read More......

Selasa, 06 November 2007

haji dugem

Bagi yang belum pernah datang ke Banjarmasin Kalimantan Selatan pasti akan kaget. Sebab, pandangan kebanyakan orang, termasuk saya, Kalimantan masih penuh dengan hutan lebat. Tapi kenyataan berkata lain, kalau anda turun dari pesawat di Bandara Syamsuddin Noor Banjarbaru, lalu menyusuri jalan sejauh 25 kilometer menuju Banjarmasin, anda tidak akan pernah menjumpai hutan, atau bahkan pohon besar sekalipun. Yang ada hanyalah hawa panas dan kering kerontang. Kalau saat musim kabut, dada anda pasti akan sesak oleh kabut asap.

Kekagetan anda pasti akan bertambah setelah beberapa hari tinggal di kota kecil ini. Saat awal tiba di Banjarmasin pertengahan 2003 lalu, aku juga sempat kaget. Ketika membaca koran kriminal lokal, terpampang jelas foto seorang haji sedang ditangkap polisi karena ketahuan mengkonsumsi ineks di sebuah diskotik. Beberapa hari berikutnya, berita yang hampir sama muncul di koran yang sama. Seorang haji ditangkap karena berpesta sabu. Selanjutnya, berita-berita ini muncul hampir saban minggu di koran kriminal lokal Banjarmasin.

Melihat realitas itu, saya jadi bertanya-tanya, ada apa dengan pak haji di kota yang berjuluk seribu masjid ini? Adakah yang salah dengan status haji di kota santri ini? Atau adakah yang salah dengan pandangan orang untuk berhaji?

Pertanyaan-pertanyaan itu terus bergelayut hingga kini. Tapi setelah tiga tahun bergaul dengan masyarakat dan beberapa pak haji, saya jadi agak maklum. Dan kini, saya jadi tidak heran lagi dengan maraknya berita penangkapan pak haji oleh polisi akibat kasus kriminal.

Ketika ingin mencermati hal ini, saya jadi teringat dengan pesan yang disampaikan oleh Bupati Sleman, Drs Ibnu Subiyanto Akt saat akan melepas jamaah haji asal daerahnya. Saat itu, dia mengatakan, yang terberat dari naik haji bukanlah biayanya, tapi menjaga perilaku setelah pulang dari tanah suci.

Sungguh, kata dia, untuk mengumpulkan uang guna pergi haji tidak terlalu berat. Dengan niat yang sungguh-sungguh dan kerja keras, hal itu bisa dicapai dalam waktu yang tidak terlalu lama. Tapi, jika pulang dari berhaji, perilaku masih tetap sama, berarti berhajinya patut dipertanyakan.

Saat itu, saya berpikir, betul juga kata Ibnu. Karena, mengumpulkan uang sekitar Rp 30 juta untuk berhaji, bagi sebagian orang memang tidak terlalu sulit, apalagi bagi orang Kalsel yang terkenal tajir. Bahkan, kini para PNS juga bisa mendaftar haji dengan cara mengangsur dari gajinya. Cukup mudah, tinggal menunggu waktu saja.

Di Banjarmasin sendiri, titel haji sudah tidak kehitung lagi. Bahkan, peminat haji dari daerah ini paling banyak dibanding dengan daerah lain di Indonesia. Untuk bisa berhaji di daerah ini, seseorang harus menunggu kuota tiga hingga empat tahun mendatang untuk bisa berangkat. Sampai-sampai, Pemprovnya membuat embarkasi haji sendiri untuk mempermudah ritual ke tanah suci ini.

Seorang haji bercerita kepada saya, dia sudah pergi haji sebanyak tiga kali, termasuk menghajikan anak istrinya. Dia naik haji dengan menjual beberapa hektar tanah warisan orang tuanya saja. Alasannya cukup sederhana, untuk menjalankan perintah agamanya. Dan tentu saja, dengan gelar haji yang disandangnya, status sosial di tempat tinggalnya menjadi naik.

Menurutnya, seorang haji sangat dihormati di kawasan tempat tinggalnya. Dia juga mengaku sangat bangga kalau dipanggil pak haji oleh para tetangganya. Artinya, status sosialnya dihargai dengan sangat tinggi oleh masyarakat.

Makanya, tak heran kalau koran-koran lokal sering mengangkat status hajinya kalau sedang berurusan dengan polisi. Tentu saja, maksud wartawannya adalah biar masyarakat tahu kalau ternyata pak haji bersangkutan patut dipertanyakan statusnya. Orang sudah menyandang status mulia kok masih melakukan tindakan kriminal, bahkan maksiat!

Memang agak kurang pas juga kalau mengklaim pak haji di Banjarmasin suka berbuat tindakan kriminal. Karena jumlahnya pasti hanya beberapa persen saja dari jumlah haji yang ada. Dan yang pasti, lebih banyak haji di Banjarmasin yang menjalankan perintah agamanya secara sungguh-sungguh, tidak hanya mengejar status sosial saja.

Hal ini, persis sama dengan berita di media massa yang mengatakan bahwa artis, bintang film atau pemusik hobinya kawin cerai. Padahal kalau dihitung, pasti jumlah masyarakat umum yang cerai jauh lebih besar dibanding dengan prosentase jumlah artis. Apalagi di Kalsel, kawin cerai menjadi hal yang "agak" biasa.

Setelah merenung agak lama, memang kasus ini cukup merisaukan. Tapi, kalau boleh mengambil sisi positifnya, ternyata jumlah pak haji di Banjarmasin sangat banyak. Dan yang berperilaku terpuji pasti juga lebih banyak daripada yang berperilaku brengsek. Toh, yang ketangkap melakukan tindakan kriminal dan maksiat hanya segelintir oknum saja. Jadi, buat apa pusing-pusing....


Banjarbaru
Selasa, 6 November 2007

Read More......

Senin, 29 Oktober 2007

manager handal

Semua orang tahu nasib guru. Orang yang telah berjasa mencetak menteri, presiden, milyarder dan jutaan orang pintar ini, nasibnya tidak sebagus namanya. Penghasilan pas-pasan, banyak utang, hidup sederhana dan segudang predikat hidup miris lainnya, sering dialamatkan kepada guru.

Saya ingat saat masih kecil dulu. Saat itu ibuku menjadi kepala sekolah SD. Semua guru di sekolahnya selalu mengambil uang gaji di rumahku saat tanggal muda. Saat itu, ibuku sering dengan sengaja menunjukkan daftar gaji guru sekolahnya kepadaku. Ada beberapa guru yang saat gajian justru harus membayar sejumlah uang, karena punya utang di sekolah. Saat itu saya jadi bertanya-tanya, bagaimana mereka menghidupi keluarganya kalau saat gajian tiba mereka harus membayar utang?

Dua orang finalis eagle awardsdi Metro TV, dengan jeli membidik profil kehidupan seorang guru di Jakarta. Mengambil judul Kepala Sekolahku Seorang Pemulung, menjadi film dokumenter yang cukup favorit di mata pemirsa. Banyak orang kaget atau prihatin melihat nasib guru di film itu, tapi itulah kenyataan yang dihadapi seorang guru. Kepala sekolah yang jadi pemeran utama itu bahkan dengan lugas mengatakan, penghasilannya dari memulung plastik di gunungan sampah di Jakarta jauh lebih besar dari gajinya mengajar.

Tapi, Tuhan memang selalu bertindak adil. Meski rejeki materinya seret, namun guru selalu diberi rejeki dalam bentuk lain. Anaknya pintar-pintar, kehidupannya lurus-lurus saja, tidak banyak masalah, keturunannya juga tidak banyak masalah. Bahkan, sebagian besar mahasiswa di universitas negeri terbesar di negara ini adalah anak-anak guru.

Beruntunglah, Indonesia pernah punya seorang presiden bernama Gus Dur. Begitu dia jadi presiden, gaji guru langsung dinaikkan 100 persen. Saat itu banyak pemimpin daerah menjerit karena tidak punya anggaran untuk membayar kenaikan itu. Wajar kalau bupati menjerit karena tidak punya uang untuk membayar gaji guru itu. Tapi begitulah, sudah seharusnya bupati bekerja keras dan lebih memperhatikan nasib guru.

Kini, di pemerintahan SBY, nasib guru lagi-lagi cukup diperhatikan. Mulai dari gaji ke-13, tunjangan fungsional, tunjangan sertifikasi guru dan beberapa tambahan penghasilan lainnya. Dengan adanya tambahan tunjangan itu, kini nasib pahlawan tanpa tanda jasa ini terbilang cukup layak. Tinggal bagaimana guru menyampaikan terima kasihnya atas perhatian ini. Meningkatkan kualitas mengajar dan mendidik, saya kira adalah jawaban yang cukup memadai. Meskipun, penghargaan itu, saya rasa tidak akan pernah cukup untuk menghargai jasa seorang guru.

Bila harus mengungkap kehidupan guru. Sudah cukup panjang saya merasakannya. Sebagai pensiunan guru SD, dua orang tuaku sudah cukup membentuk kepribadianku hingga saat ini. Saya ingat saat kecil, bagaimana kami sekeluarga harus makan nasi kecap dengan lauk satu butir telur rebus dibagi untuk empat orang anak. Atau satu butir telur dadar dicampur dengan kobis dan tepung hingga mengembang.

Tapi, justru dari situlah saya banyak belajar manajemen keuangan dari ibuku. Meski hidup kami pas-pasan, tapi alhamdulillah, kami empat bersaudara anak-anak bapak-ibuku jadi sarjana semua. Kuliah kamipun bukan sekedar mampir kuliah, kakak tertua lulusan Undip Semarang, kakak nomor dua lulusan IKIP Negeri Semarang, aku dan adikku lulusan UGM Jogjakarta.

Entah belajar dari mana ibuku bisa sangat cerdas memenej keuangan keluarga kami. Yang jelas, saat itu Rhenald Kasali belum mengarang Change, Robert Kiyosaki belum menemukan Cashflow Quadrant, atau saya yakin ibuku belum pernah membaca biografi orang-orang top dunia. Tapi saya yakin ibuku punya guru yang sangat hebat, guru kehidupan. Beliau belajar langsung dari guru kehidupan itu.

Bukan untuk bersombong diri, dua orang tuaku sudah dua kali naik haji. Mereka juga bisa membangun rumah dan mempunyai beberapa bidang tanah. Kalau ada yang menuduh orang tuaku korupsi, semua pasti tertawa. Karena, sampai kapanpun seorang guru, apalagi tinggalnya di desa terpencil seperti kami bisa korupsi. Apa yang mau dikorupsi oleh seorang guru di desa terpencil?

Dalam sebuah perenungan malam, saya pernah merasa sangat malu. Orang tuaku yang hanya lulusan SPG saja bisa memanaj uang dan menjadikan kami semua sarjana. Lalu, kami yang sarjana ini bisa berbuat apa? Jangankan membantu orang tua kami, untuk menghidupi keluarga kami saja, rasanya masih jauh bila dibandingkan dengan apa yang telah dilakukan orang tua kami. Satu-satunya yang baru bisa kami lakukan saat ini adalah mendoakan mereka agar selalu hidup bahagia, dunia akhirat. Amin..

Banjarbaru, Kalsel
Senin, 29 Oktober 2007

Read More......

Minggu, 28 Oktober 2007

kisah ibu gendut

Saat naik bus kota jurusan Jogja-Solo, ada seorang ibu gendut duduk di kursi deretan seberang. Dari dandanannya, tampak dia kelas menengah. Dengan tas tangan di pangkuannya dan sebuah HP di tangan, dia duduk mendengarkan lantunan musik dari dua orang pengamen. Dia tampak menikmati alunan musik dengan lirik buatan sendiri itu. Sesekali dia mengangguk-angguk mengikuti irama musik melalui gitar bolong oleh salah satu pengamen.

Satu pengamen berusia sekitar 40-an tahun mengenakan pakaian rapi. Celana jeans dengan baju lengan pendek dimasukkan. Di berdiri di sampingku. Satu pengamen lagi berusia sekitar 25 tahunan, mengenakan celana jeans dan kaos oblong lusuh. Dia berdiri satu kursi di depanku. Saat melantunkan lagu, dari mulutnya keluar aroma alkohol. Alunan liriknya juga selalu tidak pas dengan alunan gitar. Jelas dia sedang mabok.

Sebelum usai menyanyi, satu pria yang lebih muda memberikan pengumuman kepada penumpang bus yang berjumlah sekitar 20-an. Pertama-tama dia berterima kasih karena penumpang telah mau mendengarkan lagu ciptaan mereka sendiri. Lalu, masih diiringi musik oleh temannya, dia bilang mohon kerelaan penumpang agar mau memberikan uang receh kepadanya.

“Bagi yang tidur kami harap untuk bangun sebentar. Bagi yang pura-pura tidur, saya doakan bisa tidur beneran, dan bagi yang sudah mendengarkan lagu kami, kami minta kerelaan sedikit uang receh anda,” kata pemuda itu.

Dalam sekejap, dia mengeluarkan plastik bekas bungkus permen. Dia mulai menyodorkan kantong plastik itu dari penumpang paling depan, lalu beringsut ke belakang. Saya lihat, seorang lelaki yang duduk di depanku tidak memberinya uang, tapi lelaki itu memberi kode dengan tangannya kalau dia tidak bisa memberi. Begitu juga dengan perempuan di sampingnya, juga tidak memberinya uang sambil menganggukkan kepala memberi kode.

Lelaki muda itu terus berjalan hingga ke barisanku. Kebetulan, di kantongku saat itu ada uang koin Rp 200. Saat aku ulurkan uang itu ke plastiknya, dia mengucapkan terima kasih. Dia tidak pernah peduli saya memberinya berapa. Saat saya perhatikan, asal ada penumpang yang menjulurkan tangan ke kantonngnya, dia mengucapkan terima kasih.

Saat kantong plastik itu sampai pada giliran ibu gendut itu, dia tidak bereaksi. Begitu juga saat pemuda itu menjulurkan plastik itu lebih dekat ke wajah ibu gendut itu. Dia tidak juga memberikan reaksi. Akhirnya, lelaki itu marah-marah. Tapi tak jelas ngomelnya seperti apa. Rupanya, ibu gendut itu tampak tersinggung. Dia pun marah-marah. Sampai beberapa saat kemudian, ibu itu masih tampak protes dan tidak puas atas perlakuan pemuda pengamen itu.

Dengan perasaan masih dongkol, ibu itu tampak menelpon seseorang menggunakan HP-nya. Kepada orang di seberang telepon, ibu gendut itu menumpahkan segala kekesalannya atas perlakuan pemuda pengamen itu. Sepertinya, orang di seberang telepon itu anggota TNI. Dia juga sempat menyebut-nyebut beberapa saudaranya yang lain, yang juga anggota TNI.

“Masak minta uang tidak diberi kok marah-marah. Bicaranya jorok lagi! Kalau tidak diberi kan harus menghormati orang. Mas tolong cari dia. Dia turun di dekat terminal Klaten. Orang itu pakai kaos oblong warna hitam,” kata ibu gendut itu kepada orang di seberang telepon dengan nada dongkol.

Saya perhatikan, dia menelepon saudaranya itu lebih dari 15 menit. Jika diperhitungkan, pasti biayanya lebih dari Rp 5.000. Tentu saja, akan lebih murah jika ia memberi uang Rp 200 seperti yang saya berikan kepada pengamen itu. Jika dikalkulasi lagi, tentu saja memberi Rp 200 jelas akan membuat suasananya di bus itu tidak akan terganggu. Lagipula, Rp 200 pada jaman seperti sekarang sudah tidak bisa digunakan untuk membeli permen anak kecil sekalipun.

Dengan kejadian itu, tidak saja dia harus keluar biaya pulsa yang besar, tapi harga dirinya pasti sangat terganggu karena didamprat dengan kata-kata kotor. Dalam hati saya bersyukur, hanya dengan Rp 200 saya tidak mendapat dampratan dari orang lain. Terlebih lagi, saya mendapat pengalaman berharga dari ibu gendut itu.

Jogjakarta
Kamis, 25 Oktober 2007

Read More......

Rabu, 24 Oktober 2007

marah

Ini adalah zaman frustasi. Banyak orang marah karena kecewa, karena diperlakukan tidak adil, karena tidak bisa mencapai keinginannya, atau bahkan marah tanpa sebab. Banyak pula orang yang dimarahi tanpa sebab, atau hanya karena masalah sepele. Lalu, kenapa orang menjadi mudah marah?

Aa Gym pernah bilang, orang pemarah itu tanda tidak punya ilmu. Karena tak punya ilmu, maka tak bisa menyelesaikan masalahnya dengan baik. Akibatnya, orang menjadi mudah patah arang, orang menjadi mudah kecewa dan pelampiasannya adalah marah. Kata Gym, dengan ilmu, orang bisa menyelesaikan masalah apa saja. Dengan ilmu, orang bisa melepaskan uneg-uneg atau stressnya secara lebih baik. Sehingga, tak perlu dongkol, tak perlu marah.

Dengan marah, orang menganggap masalah bisa selesai. Setidaknya, bisa melampiaskan kekecewaan, bisa melampiaskan ketidakpuasan, dan mengurangi beban stress. Tapi tunggu dulu, itu kan perbuatan orang picik! Tidak bisa mengendalikan diri dengan baik, tapi menyalahkan orang lain.

Sekarang, banyak orang bilang ini zaman edan. Banyak orang mengutip kata-kata pujangga Ki Ronggo Warsito. Kata orang, kalau tidak ikut edan, tidak kebagian. Tapi lucunya, banyak orang tidak memahami pesan Ki Warsito ini secara lengkap. Bahkan mengorupsi sebagian pemikiran Ki Warsito itu. Mestinya, pesan Warsito itu tidak hanya berhenti pada "yang tidak ikut edan tidak kebagian," tapi, "Wong kang selamet iku, wong sing eling lan waspodo."

Ya itulah. Sekarang banyak orang dengan mudah saling tuduh, padahal sama-sama saling melakukan keburukan. Itu namanya maling teriak maling. Di kantor saya, termasuk saya, sering sekali dengan mudah menuduh orang lain melakukan kesalahan. Kami sering ngerumpi bahwa Si A, Si B, Si C, pejabat A, pejabat B, pimpinan ini, koordinator itu, sering bertindak tidak adil. Padahal, kami sendiri, terkadang lebih buruk dari orang yang kita tuduh itu.

Di kantor, kami sering melakukan korupsi. Korupsi jam kerja, korupsi uang hadir, korupsi tanda tangan, dan korupsi lain-lainnya. Lalu apa bedanya dengan para pejabat yang sering melakukan korupsi, seperti yang sering kami rumpikan? Kami sering berdalih bahwa korupsi yang kita lakukan tidak merugikan rakyat! Nah loh... Sama-sama klepto, tapi selalu berdalih.

Saat mencermati masalah ini, kebanyakan orang bilang, sudah saatnya mendapat bimbingan agama. Tapi kita sering lupa satu pertanyaan, sudahkah kita mengamalkan ajaran agama kita secara benar? Jangan-jangan kita hanya menjalankan ritualnya saja, tanpa pernah memahami ajaran agama yang benar. "Paham!" kata ustadnya Si Entong.

Banyak orang sering lupa, saat terlahir, kita langsung punya satu agama yaitu agama orangtua kita. Dalam hal ini, posisi kita dalam kondisi terpaksa. Kita tidak pernah memilih suatu agama atau keyakinan kita secara sadar dan sungguh-sungguh. Celakanya, hal ini kita jalani saja hingga dewasa, tua dan bahkan sampai mati. Kita tak pernah menyadari spiritualitas kita secara sungguh-sungguh dan penuh kesadaran. Kita tidak pernah mempertanyakan kenapa kita harus menganut agama ini atau agama itu.

Celakanya lagi, pada saat kita punya kesadaran untuk memilih keyakinan kita, kita tidak pernah menggunakan kesempatan itu. Kita selalu terjebak pada budaya, pada kebiasaan keluarga dan sekeliling kita, sehingga tidak pernah mau bersikap kritis. Pernahkah kita punya keberanian untuk mempertanyakan kebenaran agama kita? Hmmm... Kalau ini kita lakukan, pasti kita akan langsung dicap murtad.

Jadi, beruntunglah bila anda terlahir di lingkungan yang terbiasa dengan perbedaan pendapat. Di lingkungan kampus, mempertanyakan kebenaran ajaran agama adalah hal yang sangat wajar. Itu biasa. Perbedaan pendapat dan mempertanyakan kebenaran agama bukan untuk menjadi murtad. Perbedaan pendapat justru untuk memperkaya pemahaman kita, tentang agama, spiritualitas, dan tentang alam semesta.

Dengan berdebat, bukan untuk menjadikan sikap permusuhan, tapi justru untuk memperkuat keyakinan kita. Untuk membentuk sikap toleransi kita, bahwa di luar diri kita ada orang lain. Di luar diri kita ada hal lain yang perlu kita hormati. Di luar diri kita, ada ego-ego lain seperti ego kita, yang tentunya ingin dihormati juga.

Lalu, bagaimana agar ajaran agama bisa berperan mengatasi masalah manusia sepanjang zaman, seperti tujuan agama itu sendiri? Semestinya, agama dan kitabnya harus bisa menjadi penuntun umat manusia sepanjang zaman. Lalu kenapa agama terkesan selalu ketinggalan zaman? Nah, di sinilah peran lembaga pendidikan, termasuk pendidikan agama. Sekolahnya, madrasahnya, pondok pesantrennya, termasuk guru-guru dan tenaga pengajarnya harus bisa menempatkan ajaran agama sesuai dengan perkembangan zaman.

Lalu, bagaimana mungkin agama kita diminati (termasuk oleh pengikutnya sekalipun) kalau pengajarnya hanya bisa mengajarkan surga dan neraka saja? Bagaimana mungkin agama bisa mengatasi masalah narkoba, korupsi, dan pergaulan bebas kalau rahibnya terdiri dari orang-orang yang berpandangan kuno, kolot dan tidak bisa menerima perbedaan pendapat. Apalagi beraliran keras menjurus brutal! Wah...

Bersyukur banyak ustadz muda di negara ini yang sudah mulai menyadari hal ini. Banyak ustadz muncul di kalangan selebritis, banyak ustadz muncul di kalangan pesantren, banyak ustadz muncul di kampus-kampus, banyak ustadz muncul di kompleks pelacuran dan tempat-tempat lain yang masih dihuni manusia. Dengan banyaknya ustadz di setiap strata sosial, maka ajaran agama bisa disampaikan secara lebih pas, lebih fleksibel. Tidak kaku dan tidak kasar, karena bisa memahami psikologi sosial di setiap latar belakang kehidupan masyarakat.

Bapakku pernah bilang, hidup ini cuma sebentar. Tidak bijak kalau kita hanya mengejar kehidupan duniawi saja. Tidak adil kalau kita hanya memberi makan badan fisik kita saja. Sewaktu-waktu, kita harus menabung untuk kehidupan spiritual kita. Kita harus memberi makan badan rohani kita. Terlebih lagi, dengan singkatnya hidup di dunia ini, bukankah seharusnya kita berbuat baik secara lebih banyak. Bukankah ini kesempatan untuk menabung sebanyak-banyaknya untuk kehidupan di kemudian hari...

salam,

Banjarbaru, Kalsel
Rabu, 24/10/2007

Read More......

Selasa, 23 Oktober 2007

kaya

Banyak orang mengira kalau punya uang banyak, punya rumah dan mobil mewah, serta sederet perusahaan dan aset lainnya adalah orang yang kaya. Tidak salah memang. Orang, dan kebanyakan masyarakat pasti berasumsi bahwa kaya itu, ya memang seperti itu. Sejak kecil hingga detik saat kita hidup sekarang, kita selalu dipaksa untuk mengatakan bahwa gambaran kaya itu ya seperti itu.

Lalu betulkah kaya itu memang harus seperti itu? Seperti yang kita gambarkan selama ini? Bolehkah kita punya pandangan lain tentang definisi kaya itu seperti apa? Betulkah kaya itu hanya karena kita bergelimang harta benda dan kemewahan saja? Lalu bagaimana dengan ungkapan kaya hati?

Bagi orang yang telah "meninggalkan" kehidupan duniawi, bukan dalam arti meninggal raganya, tapi menekuni kehidupan spiritual. Definisi kaya tentu saja bukanlah seperti itu. Kaya bukanlah banyak harta benda. Kaya bukanlah bergelimang kehidupan fisik atau ragawi. Bagi mereka, kaya adalah bagaimana hidup yang sangat terbatas ini dimanfaatkan untuk selalu bisa memberi.

Bagaimana bisa disebut sebagai orang kaya kalau belum pernah memberi. Bagaimana seorang milyarder atau seorang trilyuner bisa disebut kaya kalau dia belum pernah memberi kepada sesama? Bagaimana dia bisa disebut kaya kalau kerjaannya tiap hari hanya mencari dan menumpuk harta? Bagaimana disebut kaya kalau masih selalu merasa kekurangan?

Bagi orang yang berpikiran jernih, orang kaya adalah orang yang dalam hidupnya selalu memberi, setiap waktu, setiap saat. Tidak peduli apa yang diberikan kepada orang lain. Ilmu, harta, tenaga, atau bahkan hanya memberi inspirasi saja bagi orang lain. Kaya adalah karena bisa memberi. Orang yang masih terus saja mencari harta belum bisa disebut kaya, karena dalam hidupnya masih selalu serba kekurangan.

Guru ngaji waktu kecil pernah bilang, orang kaya adalah orang yang sudah memberikan sesuatu miliknya kepada orang lain. Termasuk guru ngaji, merekalah orang-orang yang kaya ilmu. Mereka tidak pernah meminta imbalan, mereka hanya memberi dan terus memberi sehingga tak terasa sudah jadi orang yang kaya.

Berbicara tentang memberi, dalam hukum alam selalu berlaku hukum sebab akibat. Siapa yang memberi pasti akan menerima. Bukankan dalam agama juga diajarkan bahwa siapa yang memberi akan dilipatgandakan penerimaanya? Bisa jadi, memberi merupakan umpan atau pancingan untuk menerima sesuatu yang lebih besar? Jadi, kata ustadz Mansyur, kalau ingin rejeki kita dibuka selebar-lebarnya, maka kita harus banyak bersedekah. Semakin banyak bersedekah, semakin banyak rejeki yang bakal kita terima.

Kalau sudah begini, anda ingin ikut kaya yang mana?


Banjarbaru, Kalsel
Selasa, 23 Oktober 2007

Read More......

Senin, 22 Oktober 2007

sibernetik

Bagi sebagian besar orang, istilah psiko sibernetik ini pastilah masih sangat awam. Selain jarang dipublikasikan, istilah ini muncul di Indonesia tahun 1980-an, dan sejak kemunculannya hanya orang-orang tertentu saja yang tertarik dan mencoba untuk menjalankannya. Bahkan, kebanyakan orang-orang yang percaya dan mengamalkannya, biasanya hanya memakainya untuk diri sendiri dan keluarga atau orang-orang terdekat saja.

Bagi sebagian besar orang, psiko sibernetik tidak lebih dari bagian dari disiplin ilmu psikologi. Bahkan, sebagaian orang pasti banyak yang mencibir, terutama yang gagal menjalankannya. Tapi bagi yang mempercayainya, apalagi yang sudah pernah membuktikannya, tentu saja ilmu dari Amerika ini sangatlah berguna. Tidak hanya di jaman yang serba susah ini, ilmu yang lebih banyak mengeksplore alam bawah sadar manusia ini juga berfungsi untuk mencapai apa saja keinginan manusia.

Dalam sebuah buku yang mengupas tentang psiko sibernetik ini, bahkan sang pengarang mengklaim bahwa ilmu ini bisa dipakai untuk mencapai apa saja yang diinginkan manusia, termasuk keinginan manusia untuk menuju surga. Tapi, untuk tujuan yang terakhir ini. tentu saja belum pernah dibuktikan sepenuhnya, karena selama ini alam setelah kehidupan duniawi belum pernah terungkap oleh manusia yang masih hidup di dunia.

Dalam bukunya yang penuh dengan contoh-contoh konkret, psiko sibernetik ini telah dipakai oleh jutaan manusia di seluruh dunia. Bahkan, banyak pembaca yang pada akhirnya membentuk kelompok-kelompok kecil untuk membuktikan kedahsyatan psiko sibernetik ini. Contoh-contoh itu, tidak hanya berupa cara untuk menjalankan program ini, tapi sekaligus bukti orang-orang yang telah berhasil mengamalkannya.

Saya sendiri, setelah mengamini buku psiko sibernetik ini, menjadi sangat yakin akan kedahsyatannya. Bukan karena buku tersebut dibuat melalui serangkaian ujicoba dan riset tingkat dunia, tapi memang saya sangat meyakini bahwa kekuatan alam bawah sadar yang dimiliki manusia sangatlah dahsyat. Sebagai contoh kecil saja, saat orang merasa takut, tentu saja dia bisa mengeluarkan kekuatan yang sangat besar, seperti bisa berlari sangat cepat atau melompat dalam jarak yang sangat jauh.

Bahkan, setelah saya menyarankan psiko sibernetik ini kepada teman dekat, saudara dan juga keluarga saya, kehandalan program ini sangat teruji. Kami telah berhasil mencapai beberapa keinginan yang selama ini kami idamkan. Asal diyakini dan dijalankan dengan penuh kesungguhan, apapun keinginan manusia bisa terkabul. Awal saya meyakini program ini adalah, bahwa tidak ada yang mustahil di dunia ini.

Apalagi, jika anda yakin bahwa Tuhan Maha Kuasa, maka tidak ada yang tidak mungkin terjadi di dunia ini kalau Tuhan sudah berkehendak. Anda akan menjadi lebih yakin kalau anda melihat aksi para mentalis atau ahli sulap tingkat dunia, seperti David Coperfield misalnya. Meski mungkin mereka menggunakan ilusi atau teknologi canggih sekalipun, tapi tetap ada sesuatu yang dirasa tidak masuk di akal.

Kalau saya sendiri tetap yakin bahwa kekuatan manusia, terutama alam bawah sadar, dipadu dengan kecerdasan akal pikiran manusia, bisa mewujudkan segala keinginan yang selama ini dianggap mustahil sekalipun. Ilmu ini mengatakan, bahwa alam bawah sadar manusia itu bagaikan gunung di bawah laut, yang muncul hanya sebagian kecil saja, tapi sebetulnya kekuatannya sangatlah besar.

Contoh kecil misalnya. Saat saya kuliah, teman saya mengklaim saya akan lulus lebih dari enam tahun kuliah. Selain saya lebih suka keluyuran dan menghabiskan waktu di tempat nongkrong, kuliahpun jarang-jarang. Saya lebih suka naik gunung atau duduk berjam-jam dengan kartu truff di tangan saya. Tapi apa yang terjadi, saya mengajukan proposal skripsi hingga selesai ujian pendadaran hanya butuh waktu tidak lebih dari tiga bulan.

Teman-temanpun terbengong ketika akhirnya saya berhasil memakai toga dalam waktu kuliah tidak lebih dari lima tahun. Memang, bagi sebagian besar orang, waktu kuliah lima tahun lebih dari cukup, tapi bagi saya dan teman-teman, tentu itu waktu yang sangat singkat. Ternyata, Mahasiswa Paling Lama yang sering dilabelkan kepada anggota Mapala seperti saya tidak terbukti.

Kehandalan psiko sibernetik tidak hanya sampai di sini saja. Saat saya sedang berada di masa kritis, saat paceklik, saat mencari pekerjaan, saat menghadapi situasi yang menurut kesadaran saya tidak mungkin saya hadapi, ternyata berhasil saya lalui dengan sukses. Terlebih lagi, saya bisa melaluinya sesuai dengan keinginan saya.

Mungkin anda masih penasaran, apa sih psiko sibernetik itu, dan bagaimana cara menjalankannya? Caranya sederhana saja, kita hanya cukup membayangkan apa yang kita inginkan setiap waktu. Tidak harus 24 jam, cukup 15-30 menit saja tiap hari. Tapi harus dilakukan dengan penuh kesadaran dan kesungguhan.

Bila bayangan itu sulit dimunculkan, kita bisa menggunakan alat bantu berupa gambar-gambar tentang keinginan kita, misalnya uang miliaran, rumah mewah, sukses, barang-barang mewah, atau simbol lain yang menggambarkan kesuksesan yang akan kita raih. Bila gambar itu terus menerus kita bayangkan dan lihat tiap waktu dengan penuh kesadaran dan sungguh-sungguh, dalam waktu tertentu, keinginan itu bisa saja terkabul.

Salah satu kendala yang sering dihadapi adalah, kita tidak pernah 100 persen meyakini bahwa kita akan berhasil mencapai yang kita inginkan. Kalau kendala ini muncul dan terus kita pikirkan, tentu saja keinginan kita menjadi akan sulit tercapai. Tapi bila bayangan kegagalan ini dengan segera kita lupakan dan cepat kembali berkonsentrasi ke bayangan keberhasilan, tentu saja keberhasilan akan ada di depan mata.

Salah satu cara yang direferensikan dalam buku psiko sibernetik ini adalah, kita membayangkan sedang menghapus bayangan kegagalan itu, seperti kita menghapus papan tulis dari kotoran, dan segera membayangkan kembali keinginan kita. Sudah banyak contoh diungkap dalam buku tersebut. Dan saya sendiri, telah berhasil mencapai puluhan bahkan ratusan keinginan saya berkat menjalankan psiko sibernetik ini.

Pada akhirnya, saya ucapkan selamat mencoba.



Kompleks Buncit, Banjarmasin
Senin, 22 Oktober 2007

Read More......