Minggu, 28 Oktober 2007

kisah ibu gendut

Saat naik bus kota jurusan Jogja-Solo, ada seorang ibu gendut duduk di kursi deretan seberang. Dari dandanannya, tampak dia kelas menengah. Dengan tas tangan di pangkuannya dan sebuah HP di tangan, dia duduk mendengarkan lantunan musik dari dua orang pengamen. Dia tampak menikmati alunan musik dengan lirik buatan sendiri itu. Sesekali dia mengangguk-angguk mengikuti irama musik melalui gitar bolong oleh salah satu pengamen.

Satu pengamen berusia sekitar 40-an tahun mengenakan pakaian rapi. Celana jeans dengan baju lengan pendek dimasukkan. Di berdiri di sampingku. Satu pengamen lagi berusia sekitar 25 tahunan, mengenakan celana jeans dan kaos oblong lusuh. Dia berdiri satu kursi di depanku. Saat melantunkan lagu, dari mulutnya keluar aroma alkohol. Alunan liriknya juga selalu tidak pas dengan alunan gitar. Jelas dia sedang mabok.

Sebelum usai menyanyi, satu pria yang lebih muda memberikan pengumuman kepada penumpang bus yang berjumlah sekitar 20-an. Pertama-tama dia berterima kasih karena penumpang telah mau mendengarkan lagu ciptaan mereka sendiri. Lalu, masih diiringi musik oleh temannya, dia bilang mohon kerelaan penumpang agar mau memberikan uang receh kepadanya.

“Bagi yang tidur kami harap untuk bangun sebentar. Bagi yang pura-pura tidur, saya doakan bisa tidur beneran, dan bagi yang sudah mendengarkan lagu kami, kami minta kerelaan sedikit uang receh anda,” kata pemuda itu.

Dalam sekejap, dia mengeluarkan plastik bekas bungkus permen. Dia mulai menyodorkan kantong plastik itu dari penumpang paling depan, lalu beringsut ke belakang. Saya lihat, seorang lelaki yang duduk di depanku tidak memberinya uang, tapi lelaki itu memberi kode dengan tangannya kalau dia tidak bisa memberi. Begitu juga dengan perempuan di sampingnya, juga tidak memberinya uang sambil menganggukkan kepala memberi kode.

Lelaki muda itu terus berjalan hingga ke barisanku. Kebetulan, di kantongku saat itu ada uang koin Rp 200. Saat aku ulurkan uang itu ke plastiknya, dia mengucapkan terima kasih. Dia tidak pernah peduli saya memberinya berapa. Saat saya perhatikan, asal ada penumpang yang menjulurkan tangan ke kantonngnya, dia mengucapkan terima kasih.

Saat kantong plastik itu sampai pada giliran ibu gendut itu, dia tidak bereaksi. Begitu juga saat pemuda itu menjulurkan plastik itu lebih dekat ke wajah ibu gendut itu. Dia tidak juga memberikan reaksi. Akhirnya, lelaki itu marah-marah. Tapi tak jelas ngomelnya seperti apa. Rupanya, ibu gendut itu tampak tersinggung. Dia pun marah-marah. Sampai beberapa saat kemudian, ibu itu masih tampak protes dan tidak puas atas perlakuan pemuda pengamen itu.

Dengan perasaan masih dongkol, ibu itu tampak menelpon seseorang menggunakan HP-nya. Kepada orang di seberang telepon, ibu gendut itu menumpahkan segala kekesalannya atas perlakuan pemuda pengamen itu. Sepertinya, orang di seberang telepon itu anggota TNI. Dia juga sempat menyebut-nyebut beberapa saudaranya yang lain, yang juga anggota TNI.

“Masak minta uang tidak diberi kok marah-marah. Bicaranya jorok lagi! Kalau tidak diberi kan harus menghormati orang. Mas tolong cari dia. Dia turun di dekat terminal Klaten. Orang itu pakai kaos oblong warna hitam,” kata ibu gendut itu kepada orang di seberang telepon dengan nada dongkol.

Saya perhatikan, dia menelepon saudaranya itu lebih dari 15 menit. Jika diperhitungkan, pasti biayanya lebih dari Rp 5.000. Tentu saja, akan lebih murah jika ia memberi uang Rp 200 seperti yang saya berikan kepada pengamen itu. Jika dikalkulasi lagi, tentu saja memberi Rp 200 jelas akan membuat suasananya di bus itu tidak akan terganggu. Lagipula, Rp 200 pada jaman seperti sekarang sudah tidak bisa digunakan untuk membeli permen anak kecil sekalipun.

Dengan kejadian itu, tidak saja dia harus keluar biaya pulsa yang besar, tapi harga dirinya pasti sangat terganggu karena didamprat dengan kata-kata kotor. Dalam hati saya bersyukur, hanya dengan Rp 200 saya tidak mendapat dampratan dari orang lain. Terlebih lagi, saya mendapat pengalaman berharga dari ibu gendut itu.

Jogjakarta
Kamis, 25 Oktober 2007

Tidak ada komentar: