Selasa, 06 November 2007

haji dugem

Bagi yang belum pernah datang ke Banjarmasin Kalimantan Selatan pasti akan kaget. Sebab, pandangan kebanyakan orang, termasuk saya, Kalimantan masih penuh dengan hutan lebat. Tapi kenyataan berkata lain, kalau anda turun dari pesawat di Bandara Syamsuddin Noor Banjarbaru, lalu menyusuri jalan sejauh 25 kilometer menuju Banjarmasin, anda tidak akan pernah menjumpai hutan, atau bahkan pohon besar sekalipun. Yang ada hanyalah hawa panas dan kering kerontang. Kalau saat musim kabut, dada anda pasti akan sesak oleh kabut asap.

Kekagetan anda pasti akan bertambah setelah beberapa hari tinggal di kota kecil ini. Saat awal tiba di Banjarmasin pertengahan 2003 lalu, aku juga sempat kaget. Ketika membaca koran kriminal lokal, terpampang jelas foto seorang haji sedang ditangkap polisi karena ketahuan mengkonsumsi ineks di sebuah diskotik. Beberapa hari berikutnya, berita yang hampir sama muncul di koran yang sama. Seorang haji ditangkap karena berpesta sabu. Selanjutnya, berita-berita ini muncul hampir saban minggu di koran kriminal lokal Banjarmasin.

Melihat realitas itu, saya jadi bertanya-tanya, ada apa dengan pak haji di kota yang berjuluk seribu masjid ini? Adakah yang salah dengan status haji di kota santri ini? Atau adakah yang salah dengan pandangan orang untuk berhaji?

Pertanyaan-pertanyaan itu terus bergelayut hingga kini. Tapi setelah tiga tahun bergaul dengan masyarakat dan beberapa pak haji, saya jadi agak maklum. Dan kini, saya jadi tidak heran lagi dengan maraknya berita penangkapan pak haji oleh polisi akibat kasus kriminal.

Ketika ingin mencermati hal ini, saya jadi teringat dengan pesan yang disampaikan oleh Bupati Sleman, Drs Ibnu Subiyanto Akt saat akan melepas jamaah haji asal daerahnya. Saat itu, dia mengatakan, yang terberat dari naik haji bukanlah biayanya, tapi menjaga perilaku setelah pulang dari tanah suci.

Sungguh, kata dia, untuk mengumpulkan uang guna pergi haji tidak terlalu berat. Dengan niat yang sungguh-sungguh dan kerja keras, hal itu bisa dicapai dalam waktu yang tidak terlalu lama. Tapi, jika pulang dari berhaji, perilaku masih tetap sama, berarti berhajinya patut dipertanyakan.

Saat itu, saya berpikir, betul juga kata Ibnu. Karena, mengumpulkan uang sekitar Rp 30 juta untuk berhaji, bagi sebagian orang memang tidak terlalu sulit, apalagi bagi orang Kalsel yang terkenal tajir. Bahkan, kini para PNS juga bisa mendaftar haji dengan cara mengangsur dari gajinya. Cukup mudah, tinggal menunggu waktu saja.

Di Banjarmasin sendiri, titel haji sudah tidak kehitung lagi. Bahkan, peminat haji dari daerah ini paling banyak dibanding dengan daerah lain di Indonesia. Untuk bisa berhaji di daerah ini, seseorang harus menunggu kuota tiga hingga empat tahun mendatang untuk bisa berangkat. Sampai-sampai, Pemprovnya membuat embarkasi haji sendiri untuk mempermudah ritual ke tanah suci ini.

Seorang haji bercerita kepada saya, dia sudah pergi haji sebanyak tiga kali, termasuk menghajikan anak istrinya. Dia naik haji dengan menjual beberapa hektar tanah warisan orang tuanya saja. Alasannya cukup sederhana, untuk menjalankan perintah agamanya. Dan tentu saja, dengan gelar haji yang disandangnya, status sosial di tempat tinggalnya menjadi naik.

Menurutnya, seorang haji sangat dihormati di kawasan tempat tinggalnya. Dia juga mengaku sangat bangga kalau dipanggil pak haji oleh para tetangganya. Artinya, status sosialnya dihargai dengan sangat tinggi oleh masyarakat.

Makanya, tak heran kalau koran-koran lokal sering mengangkat status hajinya kalau sedang berurusan dengan polisi. Tentu saja, maksud wartawannya adalah biar masyarakat tahu kalau ternyata pak haji bersangkutan patut dipertanyakan statusnya. Orang sudah menyandang status mulia kok masih melakukan tindakan kriminal, bahkan maksiat!

Memang agak kurang pas juga kalau mengklaim pak haji di Banjarmasin suka berbuat tindakan kriminal. Karena jumlahnya pasti hanya beberapa persen saja dari jumlah haji yang ada. Dan yang pasti, lebih banyak haji di Banjarmasin yang menjalankan perintah agamanya secara sungguh-sungguh, tidak hanya mengejar status sosial saja.

Hal ini, persis sama dengan berita di media massa yang mengatakan bahwa artis, bintang film atau pemusik hobinya kawin cerai. Padahal kalau dihitung, pasti jumlah masyarakat umum yang cerai jauh lebih besar dibanding dengan prosentase jumlah artis. Apalagi di Kalsel, kawin cerai menjadi hal yang "agak" biasa.

Setelah merenung agak lama, memang kasus ini cukup merisaukan. Tapi, kalau boleh mengambil sisi positifnya, ternyata jumlah pak haji di Banjarmasin sangat banyak. Dan yang berperilaku terpuji pasti juga lebih banyak daripada yang berperilaku brengsek. Toh, yang ketangkap melakukan tindakan kriminal dan maksiat hanya segelintir oknum saja. Jadi, buat apa pusing-pusing....


Banjarbaru
Selasa, 6 November 2007

1 komentar:

Anonim mengatakan...

haji juga manusia mas...