Minggu, 23 Desember 2007

celometan

Beberapa waktu lalu aku ketemu kawan lama. Tidak ada yang berubah dari penampilan maupun tingkahnya. Tetap keras seperti saat masih kerja di tempat yang sama. Padahal, dia harus resign dari kantor lama karena sikapnya yang keras itu. Dia merasa, pendapatnya harus dipertahankan sampai kapanpun dan apapun yang terjadi dia tidak peduli.

Saat masih satu tempat kerja, kami sering sekali berdiskusi, berdebat hingga berjam-jam tentang apa saja, tentang agama, tentang pekerjaan, tentang olah raga, pemerintahan, korupsi, atau apa saja yang terlintas saat itu. Tapi karena sikapnya yang keras itu pula, dia sering dikeroyok debat orang sekantoran. Ujung-ujungnya, dia harus marah-marah. Sementara, kawan-kawan lain yang tujuan awalnya hanya iseng mengomentari, hanya cengar-cengir saja.

Kawan yang satu ini, suka sekali berdebat tentang agama. Apapun yang dibahas, selalu dikaitkan dengan agama. Padahal kami, kawan sekantoran tahu persis bahwa pengetahuannya tentang agama (maaf) pas-pasan. Atau kalau tidak, dia hanya tahu bagian preambulenya saja. Hal itu terbukti dari cecaran pertanyaan kritis yang pada akhirnya tidak bisa dijawabnya. Akibatnya, dia terjebak pada logika berpikir yang salah.

Sikapnya yang sok agamis itu, terus terang sering membuat kami jengkel, atau terkadang merasa iba juga. Bukan apa-apa, karena dengan sikapnya yang ngeyel tanpa pondasi logika yang jelas, sering membuat dia harus berposisi pada situasi yang sulit.

Begitu juga saat ketemu terakhir kali, beberapa hari lalu. Dia masih juga keras seperti sebelumnya, hampir tak ada perubahan. Menurutnya, lagi-lagi membawa label agama, “Tuhan menciptakan manusia itu berbeda-beda,” katanya. Perbedaan itu tidak untuk diubah, tapi untuk dijalankan. Jadi, dengan argumennya itu dia ingin menyatakan, “biarlah saya keras seperti ini, dan jangan coba-coba mengubah saya, karena saya memang diciptakan untuk jadi keras.”

Tapi lucunya, baru saja dia ngomong seperti itu, dia sudah meminta kawan saya untuk mengikuti kemauannya. Saat itu dia bilang, seorang wartawan harus tegas. Bila ada penyimpangan harus dibabat habis tanpa kompromi. Jadi, dia menyuruh kawan saya untuk bersikap tegas terhadap apa yang dilihat dan dirasakan di lapangan. Kawan saya yang tidak biasa berdebat ini hanya bisa cengar-cengir sambil menahan kejengkelan.

Dengan gayanya itu, kawan saya yang satu ini terus menguliahi kawan saya. Saat itu saya hanya diam saja, tidak mau ikut berpolemik atau turut memperdebatkan sesuatu yang menurut saya tak perlu ditanggapi secara serius. Lagi-lagi, dia menyuruh kawan saya untuk menindaklanjuti temuannya di lapangan. Padahal menurut kami, apa yang ditemukan juga tidak bisa dipertanggungjawabkan. Apa yang ditemukannya itu hanya gosip selentingan saja.

Karena mungkin kawan saya sudah jengkel, dia bilang secara berterus terang bahwa apa yang dikabarkannya itu tidaklah benar. Terlebih lagi, kawan saya bilang, kalau memang tahu informasi seperti itu kenapa tidak ditindaklanjuti sendiri, kan sama-sama wartawan. Mendapat lontaran seperti itu, kawan saya bilang, dia sudah berusaha menulis, tapi atasannya tidak mau merespon. Dalam sedetik berikutnya, sumpah serapah dan kejengkelannya seputar kantor dan pekerjaannya ditumpahkan kepada kami. Sambil mengisap rokok, kami mendengarkan ocehannya hingga tuntas.

Setelah merasa cukup mendengarkan ocehan itu, kawan saya bilang “sama seperti kantor kamu, aku juga pernah nulis tapi tidak direspon.” Mendengar itu, kawan yang satunya tambah panas. Dia terus mengucapkan keluhan dan protesnya, hingga berniat mendirikan media sendiri untuk mengungkapkan uneg-uneg dan keluhannya.

Pada saat itulah, karena kawan saya sudah tidak tahan lagi, dia dengan enteng mengatakan,” sebaiknya memang kamu mendirikan media sendiri. Sehingga kamu bisa menumpahkan uneg-uneg tanpa diedit atau dibuang ke tempat sampah oleh redaktur.”


Banjarmasin
Minggu, 23 Desember 2007

1 komentar:

Anonim mengatakan...

yah, begitulah dunia...